Salah satu wacana keislaman yang sedang marak
di tanah air adalah gerakan liberalisme keislaman yang dibawa oleh segenap
masyarakat Utan Kayu dan kelompok-kelompok kajian yang berafiliasi pada
Nahdlatul Ulama [NU]. Dalam amatan saya, gerakan-gerakan itu cukup sukses,
setidaknya dalam tataran wacana dan tema-tema yang dilemparkan. Namun di balik
kesuksesan itu, ada satu hal yang ingin saya tulis, berkaitan dengan aktivitas
generasi muda NU dalam gerakan liberalisasi keagamaan dan bagaimana sebaiknya
NU mengakomodir pergerakan pemikiran generasi mudanya. Secara historis, saya
juga mencoba untuk menengok ke belakang untuk menatap kembali konsepsi
keberislaman NU.
"Tak seorang pun [betapapun lama
ijtihadnya dalam amal] mencapai hakikat taat kepada Allah yang semestinya.
Namun termasuk hak-hak Allah yang wajib atas hamba-hamba-Nya adalah nasehat
dengan sekuat tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran diantara
mereka. Tak seorangpun [betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan
betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama] dapat melampaui kondisi
membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadanya”.
-- Sayidina Ali karramallahu wajhah,
sebagaimana dinukil oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasy Nahdlatul Ulama.
Salah satu wacana keislaman yang sedang marak
di tanah air adalah gerakan liberalisme keislaman yang dibawa oleh segenap
masyarakat Utan Kayu dan kelompok-kelompok kajian yang berafiliasi pada
Nahdlatul Ulama [NU]. Dalam amatan saya, gerakan-gerakan itu cukup sukses,
setidaknya dalam tataran wacana dan tema-tema yang dilemparkan. Namun di balik
kesuksesan itu, ada satu hal yang ingin saya tulis, berkaitan dengan aktivitas
generasi muda NU dalam gerakan liberalisasi keagamaan dan bagaimana sebaiknya
NU mengakomodir pergerakan pemikiran generasi mudanya. Secara historis, saya
juga mencoba untuk menengok ke belakang untuk menatap kembali konsepsi
keberislaman NU.
Tulisan ini berawal dari kekhawatiran seorang
kiai NU bernama KH Masduqi Mahfudz. Rais Syuriah PWNU Jawa Timur ini, seperti
dikutip Tempo Interaktif, 12/10/2002 dalam sambutan pembukaan konferensi
wilayah NU Jawa Timur “resah” melihat perkembangan pemikiran liberalisme
generasi muda NU. Kekhawatiran ini mungkin hanya menjadi kegundahan KH Masduqi,
tapi mungkin juga mewakili komunitas kiai NU, khususnya di level grass root.
Statemen kiai itu sejatinya adalah respon yang saya tunggu-tunggu. Saya
menunggu tanggapan itu karena kekhawatiran itu akan menjadi semacam titik
paling krusial dalam perjalanan generasi muda NU dan organisasi NU itu sendiri.
Gerakan “liberalisasi” Islam --yang dalam
realitasnya banyak generasi muda NU melibatkan diri dalam mengusung dan
memelopori--, mengalami semacam “ambiguitas” ketika berhadapan dengan pola
kehidupan ber-Islam sebagaimana yang dikonsepsikan oleh para founding fathers
NU. Yang perlu saya angkat adalah realitas ketersendatan masyarakat di bawah
bayang-bayang konsepsi Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ala NU dalam
menghadapi globalisasi dan modernisasi. Dan konsepsi Aswaja itu, pada
kenyataannya, memang perlu reorientasi demi kehidupan Islam yang lebih muwâfaq
terhadap kehdupan modern.
Galib ketahui, konsepsi Aswaja yang
digelindingkan oleh pendiri NU, untuk era sekarang ini, sudah terasa cukup
sempit dan “rigid.” Konsep itu, secara sederhana, menyatakan bahwa; Islam
Aswaja adalah Islam yang menganut satu dari empat madzhab dalam fikih [Syafi’i,
Maliki, Hanafi dan Hambali], menganut satu dari dua madzhab dalam teologi
[Al-Asy’ari dan Al-Maturidi], serta menganut satu dari dua madzhab dalam
tasawuf [Al-Ghazali dan Al-Junaidi]. Kebalikan dari ‘garis-garis’ keberagamaan
di atas, siapapun yang berfikih selain menggunakan satu dari empat madzhab
tersebut, atau berteologi selain dari dua madzhab, atau bertasawuf selain dari
dua madzhab –atau bahkan menolak sufisme sama sekali--, maka dengan sendirinya
tidak termasuk dalam barisan Aswaja ala NU.
Pada sisi lebih mikro, praktik keislaman yang
diaplikasikan oleh mayoritas warga NU adalah madzhab Syafi’i. Dan dalam terma
ke-madzhab-Syafi’i-an pun tidak sembarang Syafi’i, tetapi ada acuan, kriteria
dan hierarki yang melingkupinya. Di antara pemikiran-pemikiran Syafi’isme itu,
yang paling tinggi tingkatannya adalah kesepakatan pemikiran Imam Nawawi dan
Imam Rafi’i. Jika ada permasalahan fiqhiyyah –persoalan yang menyangkut urusan
fikih sosial-- yang penyelesaiannya tidak ditemukan dalam kesepakatan kedua
pemikir Syafi’isme itu, maka seorang Sunni –penganut Aswaja-- harus turun satu
tingkat, untuk sekadar mencari ‘pegangan’ pemikiran, yaitu dengan mengedepankan
pemikiran yang dilontarkan Imam Nawawi saja. Selanjutnya, jika masih tidak ditemukan
dalam pemikiran Imam Nawawi, kriterianya turun lagi satu tingkat; cukup
mengikuti pendapat yang disampaikan oleh Imam Rafi’i saja dan seterusnya.
Itulah yang terjadi dalam perfikihan empat
madzhab. Tidak itu saja, masih ada level terminologis atau standar-standar
tertentu, misalnya masyhur disebut dengan qaul shahih [pendapat yang benar],
ada pula qaul ashah [pendapat yang paling benar]. Ada juga terminologi Wajhân
[dua pendapat] dan terminologi Wujûh [beberapa pendapat].
Dalam konteks di Indonesia, tak hanya pada
masa berdirinya NU, pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi Aswaja
ini memang menjadi salah satu pegangan utama dalam rangka membendung gerakan
Wahabisme yang kala itu sedang gencar-gencarnya menjajakan ‘Islam murni’-nya,
Islam yang diklaim paling otentik. Melihat NU yang lebih dekat di jalur
kultural daripada jalur formal, konsepsi keislaman ala NU lebih mudah dicerna
dan akomodatif karena memahami Islam melalui penafsiran keagamaan yang
berlipat-lipat tapi kreatif serta melalui jalur-jalur ulama yang cukup
‘kompromistis’ di zamannya. Pemikiran dan strategi semacam ini pada zamannya
jelas tidak bisa dikatakan sempit, bahkan sesuai dengan kebutuhan taktis
masyarakat saat itu.
Namun, kita baru merasakan sempit setelah
menapaki realitas kehidupan keagamaan kekinian yang multidimensional. Pada
tataran fikih, misalnya, keempat madzhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata
tidak mampu menampungnya kompleksitas persoalan saat ini. Namun, seringkali
kita memaksakan diri untuk secara terus-menerus ‘mengembalikan” berbagai
persoalan modernitas ini pada empat madzhab itu. Inilah yangsaya maksud sebagai
sempitnya konsep Aswaja yang dibawa oleh NU dalam konteks sekarang ini.
Selain itu, konsepsi ini juga memiliki efek
yang tak pernah kita sadari. Salah satu efek negatif dengan adanya formalisme
madzhab dalam kehidupan ber-Islam ala NU itu adalah ketergantungan yang luar
biasa bagi seorang muslim kepada madzhab-madzhab itu. Sedemikian ‘rapi’ dan
‘teratur’-nya ketentuan-ketentuan fikih yang dikembangkan oleh para ulama
madzhab itu, dan diteruskan secara ortodoksi dan ‘meyakinkan’ oleh para
pengikutnya, seolah-olah dalam menghadapi problematika sosial kita ‘harus’
mengacu pada satu dari empat madzhab yang ditawarkan. Akibatnya sering muncul
pertanyaan; apa sih yang diketahui para pemimpin madzhab itu tentang
problematika fikih di era modern ini, sehingga kita mesti kembali padanya? Ini
baru menyangkut persoalan fikih, dan belum menyangkut persoalan lain seperti
teologi dan lain-lain.
Bagi saya, tanpa kemunculan radikalisme atas
nama penegakan syariat Islam yang sedang marak di tanah air, sudah sepatutnya
gerakan liberalisasi Islam ditawarkan, dengan satu argumentasi: modernisme
merupakan suatu realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Siapa yang
menolak modernitas, diharap segera kembali kepada zaman Rasul Saw, atau zaman
para sahabat. Tak terkecuali Islam yang didengungkan NU pun mesti mengalami
liberalisasi. Lalu, bagaimana dengan konsepsi Aswaja yang diusungnya?
Inilah titik yang berhubungan dengan statemen
yang saya kira sangat ‘sosio-teologistik’, yaitu ‘kemana pemikiran generasi
muda NU diarahkan’ dan ‘bagaimana konsepsi Aswaja ala NU diperlakukan?’
Sebenarnya tak terlalu sulit bagi NU untuk
menerima proyek liberalisasi Islam. Sebab, jauh hari sebelum adanya gerakan
liberalisasi, NU sudah memegang salah satu adagium yang sudah sangat terkenal;
Al-Muhâfadzah ‘ala al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah;
memelihara pemikiran lama yang positif dan mengambil pemikiran baru yang lebih
positif. Hingga sampai di sini, NU telah memiliki modal sosial-religius awal
yang amat penting.
Adalah menarik jika NU mengedepankan
pembaharuan secara liberal dan terbuka daripada terus-menerus mempertahankan
‘pemikiran lama yang positif’ namun pada kenyataannya prinsip itu akan
kehabisan ‘masa berlaku’-nya. Padahal, dengan liberalisme yang secara jama’ah
dibawa oleh NU, kekhawatiran seperti dilontarkan oleh KH Masduqi Mahfudz itu
justru bisa dihindari, karena liberalisme yang saya maksudkan di sini sangat
nampak nilai ijma’ atau kebersamaannya serta tidak terkesan ‘liar’. Dengan
demikian, perlu remodifikasi dan redefinisi konsep Aswaja sebagai langkah
penting memulai perubahan.
“Keliaran’ itu selama ini berteduh di balik
payung Gus Dur, namun akan tetap mendapatkan persemaian subur meskipun Gus Dur
sekarang telah “berkurang” elan intelektualismenya. NU perlu merawat
‘konstituen pemikiran keislaman’-nya yang kini tumbuh bak jamur di musim hujan
pada kalangan muda. Generasi muda kini memiliki banyak jalan untuk tetap
mengerjakan ijtihad keagamaannya. Selain terpikir untuk merehab bangunan
teologi NU, kalangan muda, paling tidak di Mesir, juga punya motivasi kuat
untuk memunculkan NU “baru” yang lebih lincah dalam mengageni dakwah Islam di
era modern. Inilah “genre” NU yang masih tetap menjadi bagian atau caretaker
dari prinsip Al-akhdzu bi-al-Jadid Al-Ashlah.
Sebagai epilog, saya mengutip pidato Gus Mus,
sapaan akrab KH Mustofa Bisri, saat meresmikan NU cabang Mesir beberapa waktu
lalu. Ketika Gus Mus menanggapi pergerakan anak muda NU dalam liberalisme
pemikiran Islam dan isu keterputusan wacana antara generasi tua dan generasi
muda NU, beliau menjawab: "Kalau yang demikian ini saya sama sekali tidak
khawatir. Justru yang saya khawatirkan apabila anak mudanya berjalan di tempat
sama. Maksudnya, mengalami kemandekan berpikir dan tak ada kemajuan daripada
generasi sebelumnya.” Wallahu a’lam!
0 komentar:
Posting Komentar