Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas
sosialnya.[rujukan?] Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah
ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan,
berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan.[rujukan?] Oleh karena itulah,
kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum.[rujukan?]
Pada 1785 fperkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan
di Middelburg, sebuah kota
di selatan Belanda.
Kata
feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier
pada tahun 1837.[rujukan?] Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke
Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan
sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869).[rujukan?]
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.[rujukan?]
Pada awalnya
gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang
bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris,
kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum
perempuan di dalam rumah.[rujukan?] Situasi ini mulai mengalami perubahan
ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad
ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya
fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk
situasi.[rujukan?] Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan
kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak
adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat
dijabat oleh pria.
Pergerakan
di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh
Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary
Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak
Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip
feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam
kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak
pilih.
Menjelang
abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari
para perempuan kulit putih di Eropa.[rujukan?] Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan
(perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada
tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.[rujukan?] Gelombang kedua
ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi
kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva
(seorang Bulgaria
yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis,
Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang
banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak feminis-individualis kulit
putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada
perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia
dan Amerika Selatan.
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di
tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan
membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di
tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang
perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay
Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih
baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan
Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh
dalam segala bidang
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa
sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat
budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society
(SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di
Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok
"feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang
lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati
bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam
masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang
dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes
diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka
anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh
perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat
sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada
1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak
Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil
penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk
dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau
gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki
era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah
satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran
perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik
patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum
feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah
termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam
wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan
representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan
relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat
maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan
destruktif.
Berangkat
dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller,
Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya
genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan
bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist
science).
2.
ALIRAN
a.
Feminisme liberal
Apa
yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan
bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.[1]Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai
"Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah
mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus
terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak
tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala
sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme.
Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
Akar
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia ,
reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi
perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
b.
Feminisme radikal
Trend
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar
jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual
dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini
adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.[2]
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang
Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
c.
Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan
anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap
fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau
struktur sosial.
d.
Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem
patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus
dihancurkan.
e.
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran
ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private
property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol
produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan
sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem
produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas
dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni
menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan
dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara
memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara
bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai
pekerja. [3]
f. Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan
Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme
sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang
melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan
seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa
pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran
ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak
akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan
kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas
dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme
marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi,
aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang
menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah
dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di
Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin,
sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda
perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia ,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan.
g.
Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan
dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial
yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai,
cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya
Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and
Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.”
h.
Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda
dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis
Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum
ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena
kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang
didukung oleh kebijakan sosial negara.[4]
3.
TOKOH DALAM FEMINISME (GENDER)
a.
Foucault
Meskipun
ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah
membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah
bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki
kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh
kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal
tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
b.
Naffine (1997:69)
Kita
dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak
dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa
meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya
pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek
dari kuasa.
c.
Derrida (Derridean)
Mempertajam
fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir
kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu
berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog
sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk
megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap
dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam
bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak
dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama
4.
Gender Menurut Islam Dalam Perspektif Klasik dan
Modern
Islam
adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas
kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai
Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan
Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai
khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan
memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan
peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang
konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah
yang sama dengan laki-laki.
Berangkat
dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam
mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup
di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya
dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada
diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek
kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan
tataran kehidupan mereka.
Kesadaran
para shahabiyat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat
terbangun dari pemahaman mereka tentang syumuliyyatul islam, sebagai buah dari
proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam
dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan kesadaran akan amanah
untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban dunia.
Dalam
perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak
pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait
masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan
keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat
ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain
pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ –
lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki
kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil
menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada
gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat olehkalangan
muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.
- Paradigma Islam dan Feminisme
Apakah
Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini
adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan
kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini –
dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para
muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam
koridor konsepsi Islam yang utuh.
- Metodologi Feminisme (Gender)
Kelemahan
paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada
filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang
realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek,
dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas,
dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya
adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam
pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal
atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam
teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem
patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan
post–strukturalisme. Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau
ketunggalan kebenaran subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi
dipandang hanya dalam dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk
pluralitas dengan kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai
kebenarannya sendiri.
Kelemahan
lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan
imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama
subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam
keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan
materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini
pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau
menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan
empirisme.
- Metodologi Islam
Jika
feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi
atas realitas seksual (patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas
manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka
didalam Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi
(sebagaimana post– strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki
nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan
post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang
mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu
adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya
adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran
mutlak yang dimiliki-Nya.
Dengan
demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan
manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan
manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja
sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba
(sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30).
Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual)
menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek
makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja
menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan
menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Realitas
kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas
obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan
kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan
taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak
sesederhana pandangaan feminisme modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun
matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah
kualifikasi yang melintasi batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa
dan sebagainya. Dengan demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau
kelebihbenaran dalam Islam tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun
kategorisasi yang melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.
Secara
normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan
dinyatakan di dalam Al Qur’an surat
9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al Qur’an
dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan
yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah
nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan
dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang
konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut
terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at).
Syari’at
adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh
kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks)
selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan
tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan
bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang
realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Dari
kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep
gendernya tidak ada dalam
Islam. Namun
kita dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan
paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu bersaudara”