Jumat, 22 Februari 2013

Mahasiswa: Agent Of Change?

Sering kali kita mendengar bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, tetapi banyak mahasiswa yang tidak menyadari hal itu, hal itulah yang menjadikan kita perlu untuk sejenak merenung dan bertanya, masihkah mahasiswa (kini) pantas menyandang gelar itu? Memang, tidak sedikit tinta yang ditorehkan Mahasiswa (Indonesia) pada sejarah negeri ini. Mulai dari kebangkitan Nasional, kemerdekaan, hingga reformasi, setiap peristiwa itu selalu menempatkan mahasiswa pada peranan yang vital. hanya demi kepentingan bersama dan kebaikan kondisi bangsa dan negara, para mahasiswa berjuang dan terbukti mampu merubah keadaan negeri ini. Meski romantisme sejarah tersebut masih menjadi kebanggaan dan memang patut kita banggakan, Tetapi itu tetap saja masa lalu yang tak akan mempengaruhi dan berarti bagi kita jika semangat dan cita-cita yang mereka perjuangkan tidak kita “warisi dan kita lanjutkan serta tidak kita gunakan dengan semesetinya”. Perjuangan dan keberhasilan mahasiswa dulu mereformasi negeri ini, hanya akan menjadi cerita favorit mahasiswa kini yang selalu membanggakan seneor-seneor mereka yang tidak lain hanya untuk mempromosikan organisasinya kepada mahasiswa baru. Sehingga, Label “agen perubahan” yang masih diyakini tersemat pada tiap diri kita hanyalah akan menjadi gelar yang tidak tepat untuk kita banggakan.
**
Jika kita mau membandingkan, terdapat perbedaan karakter antara mahasiswa dulu dan sekarang. Diera dimana sistem telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini, dan mampu menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiatan-kegiatan ilmiah, tanggug jawab dan kepekaan terhadap kondisi sosial yang menjadi budaya mahasiswa dulu, seperti diskusi, kajian, seminar, mengontrol pemerintah, kepekaan dan empati sosial atau yang lainnya sudak tidak lagi diminati, bahkan dijauhi oleh mahasiswa. Beda halnya dengan kegiatan bersenang-senang yang setiap saat dibanjiri mahasiswa.
Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi- organisasi atau kelompok mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan mereka sangat minim dengan keilmuan, perjuangan, dan tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah keadaan, atau setidaknya menyadarkan identitasnya sebagai mahasiswa, sehingga yang terjadi justru mahasiswalah yang diatur oleh keadaan dan mereka telah melupakan jati dirinya. Padahal masa depan negara ini menjadi pertaruhannya. Dalam sebuah tulisan Busjro Muqoddas mengatakan ” jika akan merusak bangsa dan negara, rusakkah mahasiswa!. Bawa mereka ke alam pikir serba instan dengan ciri-ciri :cepat lulus,cepet kerja, gaji besar, rumah mobil mewah, hoby diskotik, pub, cafĂ©, gaya hidup metropolitan. Pendeknya: Penghamba materealisme. Jauhkan mahasiswa dari kecendrungan memiliki kepekaan dan empati sosial, tak tersentuh dengan jungkir balik orang tua pencari rizki demi masa depan anak, tak peka terhadap empat puluh juta si miskin yang terzalimi oleh sistem sosial yang korup, tak peduli terhadap mental dan laku bohong pejabat dan penguasa, bahkan tak peka mengenali dirinya sendiri”. Jika itu yang tejadi, maka percayalah dalam waktu dekat negara ini akan dihuni dan dipimpin oleh banyak manusia yang tak beradab dan tak berpihak pada kebenaran.
Sekarang terserah kemauan kita, mau menjadi mahasiswa penghamba materialisme seperti yang dikata Busjro diatas? Atau menjadi mahasiswa sejati, yakni mahasiswa yang memiliki tujuan yang jelas?, yakni mahasiswa yang berniat luhur merebut ilmu dan kekuasaan dari penguasa zalim, peduli terhadap kondisi bangsa , yang mengetahui bahwa ilmu selalu berpihak kepada kebenaran dan mereka yang mengetauhui tanggung jawabnya sebagai mahasiswa yakni sebagai “agen perubahan” kepada kondisi yang lebih baik, bukan agen penghancur jati diri bangs dan negara. Pilihan kita menentukan masa depan bangsa dan negara ini

Sumber: edukasi.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar