Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada
di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk
meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para
aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali
menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam
lembaran sejarah bangsa.
Sejarah Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa
1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki
struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini
merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari
primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908
menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan
bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan
dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat
keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian
terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena
itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang
dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda,
salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland
Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang
kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922,
disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi
wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih
mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini
kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti:
Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia,
Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis
dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV)
yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama
ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat
Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang
kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan
yang selaras” dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang
berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan
pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa
terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu
merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan
pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908,
dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak
kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan,
dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan
yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan
kolonialisme.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan
Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik
yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat
berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu.
Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang
dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua,
Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para
nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori
oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung,
menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI),
prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa
yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang
menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV)
bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi
mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan
melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28
Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang
ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh
sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk
menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa
yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman
pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial
Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala
kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan
membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai
politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan
akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan
berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga
asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan
sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama
Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan
kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan
Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan
Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal
kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara
kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang
pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan
penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa
ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai
politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik
Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan
PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan
Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah
PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI
secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi
mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI,
kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan,
terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang
direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V
tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25
Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang
berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan
(PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama
Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan
Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para
aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi
lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
(KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat
dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal
dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan
mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan
mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu
adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di
antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan
Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll.
Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan
ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa
menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan ’66 pun mendapat hadiah
yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam
kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang
sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi
mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang
aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting
pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok
gie
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974,
adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan
kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi
dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal
1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972
yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),
aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah
tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut
gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman yang progaram
utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda
dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti
Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat
dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus
yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK),
Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim
Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru
telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk
mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi
kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur
tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan
masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan
Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes
akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih
(Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan
Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes
terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek
eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya
terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat
Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik,
berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan
meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke
Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa
di Jakarta meneriakan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan
“Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi
dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah
versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini
berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang
aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai
kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan
aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara
penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi
protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977,
barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif.
Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya
soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda
gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan
bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan
tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga
mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap
mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog
Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun
demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini
terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa
dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah
karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam
melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak
terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka
akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini
kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya
kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak
membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978
telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian
mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak
kepemimpinan nasional.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang
dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)
oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah
Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan
mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari
aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi
rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini
Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa,
sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang
disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini
membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di
Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis
melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang
pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di
Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya
kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi
mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK
ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu
rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai
wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra
dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi
politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati
oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah
atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus
yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra
kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang
dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam
perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran
wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula
sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh
oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk
menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan
aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan
mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI
(Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia)
atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk
kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa
antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di
Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan
NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi
Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi
kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas
(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra,
menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini
memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis
konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak
mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda
untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi
mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai
perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut
organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara
termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila
akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti
oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi
pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen,
meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya
sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian
melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun
1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 – 1990
sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus
perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk
menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi
dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh
ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan
jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa
dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa
Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan
II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Era Reformasi-sekarang
Di dalam era reformasi dan demokrasi yang cenderung liberal ini gerakan
mahasiswa masih menjadi suara yang kritis terhadap berbagai kebijakan
pemerintah. Dan disini kitalah yang akan menjadi penentu arah sejarah
gerakan mahasiswa ke depannya, mari kita tulis sejarah gerakan mahasiswa
dengan tinta emas yang akan turut membangun jayanya negeri kita. HIDUP
MAHASISWA!!
sumber: wikipedia