Senin, 25 Februari 2013

TEORI GENDER (FEMINISME)


Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.

Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.[rujukan?] Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan.[rujukan?] Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum.[rujukan?] Pada 1785 fperkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.[rujukan?] Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869).[rujukan?] Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.[rujukan?]
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.[rujukan?] Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi.[rujukan?] Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.[rujukan?] Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.[rujukan?] Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).



2.      ALIRAN
a.      Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[1]Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

b.      Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[2]
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

c.       Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

d.      Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

e.      Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. [3]





f.   Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

g.      Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”




h.      Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.[4]

3.      TOKOH DALAM FEMINISME (GENDER)

a.      Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.

b.      Naffine (1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.

c.       Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama

4.      Gender Menurut Islam Dalam Perspektif Klasik dan Modern

Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Berangkat dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran kehidupan mereka.
Kesadaran para shahabiyat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat terbangun dari pemahaman mereka tentang syumuliyyatul islam, sebagai buah dari proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban dunia.
Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat olehkalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.



  1. Paradigma Islam dan Feminisme

Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.

  1. Metodologi Feminisme (Gender)
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme. Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Kelemahan lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan empirisme.

  1. Metodologi Islam
Jika feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi atas realitas seksual (patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post– strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Realitas kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.
Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at).
Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Dari kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam
Islam. Namun kita dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”

Redefinisi Konsep Aswaja: Sebuah Gagasan


Salah satu wacana keislaman yang sedang marak di tanah air adalah gerakan liberalisme keislaman yang dibawa oleh segenap masyarakat Utan Kayu dan kelompok-kelompok kajian yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama [NU]. Dalam amatan saya, gerakan-gerakan itu cukup sukses, setidaknya dalam tataran wacana dan tema-tema yang dilemparkan. Namun di balik kesuksesan itu, ada satu hal yang ingin saya tulis, berkaitan dengan aktivitas generasi muda NU dalam gerakan liberalisasi keagamaan dan bagaimana sebaiknya NU mengakomodir pergerakan pemikiran generasi mudanya. Secara historis, saya juga mencoba untuk menengok ke belakang untuk menatap kembali konsepsi keberislaman NU.
"Tak seorang pun [betapapun lama ijtihadnya dalam amal] mencapai hakikat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk hak-hak Allah yang wajib atas hamba-hamba-Nya adalah nasehat dengan sekuat tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran diantara mereka. Tak seorangpun [betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama] dapat melampaui kondisi membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadanya”.
-- Sayidina Ali karramallahu wajhah, sebagaimana dinukil oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasy Nahdlatul Ulama.
Salah satu wacana keislaman yang sedang marak di tanah air adalah gerakan liberalisme keislaman yang dibawa oleh segenap masyarakat Utan Kayu dan kelompok-kelompok kajian yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama [NU]. Dalam amatan saya, gerakan-gerakan itu cukup sukses, setidaknya dalam tataran wacana dan tema-tema yang dilemparkan. Namun di balik kesuksesan itu, ada satu hal yang ingin saya tulis, berkaitan dengan aktivitas generasi muda NU dalam gerakan liberalisasi keagamaan dan bagaimana sebaiknya NU mengakomodir pergerakan pemikiran generasi mudanya. Secara historis, saya juga mencoba untuk menengok ke belakang untuk menatap kembali konsepsi keberislaman NU.
Tulisan ini berawal dari kekhawatiran seorang kiai NU bernama KH Masduqi Mahfudz. Rais Syuriah PWNU Jawa Timur ini, seperti dikutip Tempo Interaktif, 12/10/2002 dalam sambutan pembukaan konferensi wilayah NU Jawa Timur “resah” melihat perkembangan pemikiran liberalisme generasi muda NU. Kekhawatiran ini mungkin hanya menjadi kegundahan KH Masduqi, tapi mungkin juga mewakili komunitas kiai NU, khususnya di level grass root. Statemen kiai itu sejatinya adalah respon yang saya tunggu-tunggu. Saya menunggu tanggapan itu karena kekhawatiran itu akan menjadi semacam titik paling krusial dalam perjalanan generasi muda NU dan organisasi NU itu sendiri.
Gerakan “liberalisasi” Islam --yang dalam realitasnya banyak generasi muda NU melibatkan diri dalam mengusung dan memelopori--, mengalami semacam “ambiguitas” ketika berhadapan dengan pola kehidupan ber-Islam sebagaimana yang dikonsepsikan oleh para founding fathers NU. Yang perlu saya angkat adalah realitas ketersendatan masyarakat di bawah bayang-bayang konsepsi Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ala NU dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi. Dan konsepsi Aswaja itu, pada kenyataannya, memang perlu reorientasi demi kehidupan Islam yang lebih muwâfaq terhadap kehdupan modern.
Galib ketahui, konsepsi Aswaja yang digelindingkan oleh pendiri NU, untuk era sekarang ini, sudah terasa cukup sempit dan “rigid.” Konsep itu, secara sederhana, menyatakan bahwa; Islam Aswaja adalah Islam yang menganut satu dari empat madzhab dalam fikih [Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali], menganut satu dari dua madzhab dalam teologi [Al-Asy’ari dan Al-Maturidi], serta menganut satu dari dua madzhab dalam tasawuf [Al-Ghazali dan Al-Junaidi]. Kebalikan dari ‘garis-garis’ keberagamaan di atas, siapapun yang berfikih selain menggunakan satu dari empat madzhab tersebut, atau berteologi selain dari dua madzhab, atau bertasawuf selain dari dua madzhab –atau bahkan menolak sufisme sama sekali--, maka dengan sendirinya tidak termasuk dalam barisan Aswaja ala NU.
Pada sisi lebih mikro, praktik keislaman yang diaplikasikan oleh mayoritas warga NU adalah madzhab Syafi’i. Dan dalam terma ke-madzhab-Syafi’i-an pun tidak sembarang Syafi’i, tetapi ada acuan, kriteria dan hierarki yang melingkupinya. Di antara pemikiran-pemikiran Syafi’isme itu, yang paling tinggi tingkatannya adalah kesepakatan pemikiran Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Jika ada permasalahan fiqhiyyah –persoalan yang menyangkut urusan fikih sosial-- yang penyelesaiannya tidak ditemukan dalam kesepakatan kedua pemikir Syafi’isme itu, maka seorang Sunni –penganut Aswaja-- harus turun satu tingkat, untuk sekadar mencari ‘pegangan’ pemikiran, yaitu dengan mengedepankan pemikiran yang dilontarkan Imam Nawawi saja. Selanjutnya, jika masih tidak ditemukan dalam pemikiran Imam Nawawi, kriterianya turun lagi satu tingkat; cukup mengikuti pendapat yang disampaikan oleh Imam Rafi’i saja dan seterusnya.
Itulah yang terjadi dalam perfikihan empat madzhab. Tidak itu saja, masih ada level terminologis atau standar-standar tertentu, misalnya masyhur disebut dengan qaul shahih [pendapat yang benar], ada pula qaul ashah [pendapat yang paling benar]. Ada juga terminologi Wajhân [dua pendapat] dan terminologi Wujûh [beberapa pendapat].
Dalam konteks di Indonesia, tak hanya pada masa berdirinya NU, pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi Aswaja ini memang menjadi salah satu pegangan utama dalam rangka membendung gerakan Wahabisme yang kala itu sedang gencar-gencarnya menjajakan ‘Islam murni’-nya, Islam yang diklaim paling otentik. Melihat NU yang lebih dekat di jalur kultural daripada jalur formal, konsepsi keislaman ala NU lebih mudah dicerna dan akomodatif karena memahami Islam melalui penafsiran keagamaan yang berlipat-lipat tapi kreatif serta melalui jalur-jalur ulama yang cukup ‘kompromistis’ di zamannya. Pemikiran dan strategi semacam ini pada zamannya jelas tidak bisa dikatakan sempit, bahkan sesuai dengan kebutuhan taktis masyarakat saat itu.
Namun, kita baru merasakan sempit setelah menapaki realitas kehidupan keagamaan kekinian yang multidimensional. Pada tataran fikih, misalnya, keempat madzhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampungnya kompleksitas persoalan saat ini. Namun, seringkali kita memaksakan diri untuk secara terus-menerus ‘mengembalikan” berbagai persoalan modernitas ini pada empat madzhab itu. Inilah yangsaya maksud sebagai sempitnya konsep Aswaja yang dibawa oleh NU dalam konteks sekarang ini.
Selain itu, konsepsi ini juga memiliki efek yang tak pernah kita sadari. Salah satu efek negatif dengan adanya formalisme madzhab dalam kehidupan ber-Islam ala NU itu adalah ketergantungan yang luar biasa bagi seorang muslim kepada madzhab-madzhab itu. Sedemikian ‘rapi’ dan ‘teratur’-nya ketentuan-ketentuan fikih yang dikembangkan oleh para ulama madzhab itu, dan diteruskan secara ortodoksi dan ‘meyakinkan’ oleh para pengikutnya, seolah-olah dalam menghadapi problematika sosial kita ‘harus’ mengacu pada satu dari empat madzhab yang ditawarkan. Akibatnya sering muncul pertanyaan; apa sih yang diketahui para pemimpin madzhab itu tentang problematika fikih di era modern ini, sehingga kita mesti kembali padanya? Ini baru menyangkut persoalan fikih, dan belum menyangkut persoalan lain seperti teologi dan lain-lain.
Bagi saya, tanpa kemunculan radikalisme atas nama penegakan syariat Islam yang sedang marak di tanah air, sudah sepatutnya gerakan liberalisasi Islam ditawarkan, dengan satu argumentasi: modernisme merupakan suatu realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Siapa yang menolak modernitas, diharap segera kembali kepada zaman Rasul Saw, atau zaman para sahabat. Tak terkecuali Islam yang didengungkan NU pun mesti mengalami liberalisasi. Lalu, bagaimana dengan konsepsi Aswaja yang diusungnya?
Inilah titik yang berhubungan dengan statemen yang saya kira sangat ‘sosio-teologistik’, yaitu ‘kemana pemikiran generasi muda NU diarahkan’ dan ‘bagaimana konsepsi Aswaja ala NU diperlakukan?’
Sebenarnya tak terlalu sulit bagi NU untuk menerima proyek liberalisasi Islam. Sebab, jauh hari sebelum adanya gerakan liberalisasi, NU sudah memegang salah satu adagium yang sudah sangat terkenal; Al-Muhâfadzah ‘ala al-QadĂ®m al-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-JadĂ®d al-Ashlah; memelihara pemikiran lama yang positif dan mengambil pemikiran baru yang lebih positif. Hingga sampai di sini, NU telah memiliki modal sosial-religius awal yang amat penting.
Adalah menarik jika NU mengedepankan pembaharuan secara liberal dan terbuka daripada terus-menerus mempertahankan ‘pemikiran lama yang positif’ namun pada kenyataannya prinsip itu akan kehabisan ‘masa berlaku’-nya. Padahal, dengan liberalisme yang secara jama’ah dibawa oleh NU, kekhawatiran seperti dilontarkan oleh KH Masduqi Mahfudz itu justru bisa dihindari, karena liberalisme yang saya maksudkan di sini sangat nampak nilai ijma’ atau kebersamaannya serta tidak terkesan ‘liar’. Dengan demikian, perlu remodifikasi dan redefinisi konsep Aswaja sebagai langkah penting memulai perubahan.
“Keliaran’ itu selama ini berteduh di balik payung Gus Dur, namun akan tetap mendapatkan persemaian subur meskipun Gus Dur sekarang telah “berkurang” elan intelektualismenya. NU perlu merawat ‘konstituen pemikiran keislaman’-nya yang kini tumbuh bak jamur di musim hujan pada kalangan muda. Generasi muda kini memiliki banyak jalan untuk tetap mengerjakan ijtihad keagamaannya. Selain terpikir untuk merehab bangunan teologi NU, kalangan muda, paling tidak di Mesir, juga punya motivasi kuat untuk memunculkan NU “baru” yang lebih lincah dalam mengageni dakwah Islam di era modern. Inilah “genre” NU yang masih tetap menjadi bagian atau caretaker dari prinsip Al-akhdzu bi-al-Jadid Al-Ashlah.
Sebagai epilog, saya mengutip pidato Gus Mus, sapaan akrab KH Mustofa Bisri, saat meresmikan NU cabang Mesir beberapa waktu lalu. Ketika Gus Mus menanggapi pergerakan anak muda NU dalam liberalisme pemikiran Islam dan isu keterputusan wacana antara generasi tua dan generasi muda NU, beliau menjawab: "Kalau yang demikian ini saya sama sekali tidak khawatir. Justru yang saya khawatirkan apabila anak mudanya berjalan di tempat sama. Maksudnya, mengalami kemandekan berpikir dan tak ada kemajuan daripada generasi sebelumnya.” Wallahu a’lam!

Minggu, 24 Februari 2013

PMII Jatim Ajak Rekonsolidasi Nasionalisme


PMII Jatim menyampaikan rasa berkabung yang sedalam-dalamnya atas rangkaian kekacauan politik yang terjadi di Tanah Air.

SURABAYA, Jaringnews.com - Ketua Umum Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Timur Fairouz Huda Anggasuto mengaku prihatin atas peristiwa-peristiwa politik yang menimpa Tanah Air belakangan ini.

Ia mencontohkan kasus korupsi menyerat petinggi partai dan kasus penembakan TNI di Papua.

Lalu, tak lama setelah Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq terseret kasus dugaan korupsi, kini disusul Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus proyek Hambalang.

Di rubrik peristiwa lain, rakyat disuguhi tontonan yang cukup memilukan di Papua. Konflik di Papua kembali memakan korban dalam kasus penembakan delapan anggota TNI di kampung Tangulinik, Distrik Sinak Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Kamis (21/2) lalu.

"Ini kekacauan politik yang sangat memprihatinkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa," kata Fairouz di Surabaya, Minggu (24/2).

Karena itu, sambung Fairouz, PMII Jatim menyampaikan rasa berkabung yang sedalam-dalamnya atas rangkaian kekacauan politik yang terjadi di Tanah Air.

"Sebagai bangsa kita ikut berduka atas jatuhnya korban terhadap TNI di Papua," imbuhnya.

Sebagai bagian dari bangsa, Fairouz menegaskan bahwa PMII tidak kenal lelah dan pantang menyerah untuk tetap mempertahankan kedaulatan NKRI, khususnya dalam konteks teritori.

"Segera hentikan segala upaya pengrusakan NKRI, baik dalam konteks ideologi berbangsa, berpolitik, berekonomi, berbudaya serta dalam konteks pemecah-belahan keutuhan teritori," ajaknya.

Menurut Fairouz, ke depan perlu ada langkah-langkah kebangsaan yang harus ditempuh. Yakni pentingnya melakukan rekonsolidasi rasa nasionalisme dalam diri berbagai elemen bangsa, sehingga terbangun jiwa-jiwa persatuan untuk keberlangsungan sejarah panjang kehidupan berbangsa.

"Bangsa yang tidak hanya berpikir atas kepentingannya sendiri, kepentingan golongannya sendiri, kepentingan daerahnya sendiri," tandasnya.

Selain itu, lanjut Fairouz, perlu reformulasi konsepsi demokrasi Indonesia, dari yang hanya mengedepankan hal-hal administratif, menuju pada yang lebih mengutamakan nilai-nilai substantif. Yakni terwujudnya rasa keadilan, sikap kejujuran, dan mengedepankan sebuah kebenaran sejati. "Bukan kebenaran semu," ujarnya.

Karena itu, Fairouz menghimbau semua elemen bangsa agar mendeklarasikan diri untuk mengabdi pada bangsa dengan fondasi ideologi yang dimiliki.

"Sehingga bangsa ini tetap berada di atas bangunan karakter yang berani untuk berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari), dan berdaulat tanpa ada persinggungan konspirasi global," pungkasnya.


sumber : jaringnews.com

Jumat, 22 Februari 2013

Budaya ngopi mahasiswa

Bagi sebagian pecinta kopi, menikmati secangkir kopi mungkin hal yang biasa dilakukan di waktu senggang dan bisa dilakukan di manapun. Namun bagi kalangan mahasiswa, menikmati secangkir kopi hanya bermakna jika dilakukan di warung kopi dan dibarengi dengan diskusi-diskusi kecil. Ngopi  adalah budaya yang tidak akan pernah lepas dari mahasiswa, segala gagasan sosial yang muncul  dari para kaum intelektual tidak sedikit yang tercipta di tempat-tempat Ngopi  dan warung-warung para aktivis yang biasa menjadi tongkrongan kaum intelek. Tidak sedikit tempat Ngopi di daerah ini, namun hanya sebagian tempat Ngopi  yang bisa kita jumpai yang nuansa nya masih kentel dengan nuansa ilmiyah dan kemahasiswaan. Salah satunya tempat Ngopi  yang kami jumpai adalah "kopi pak saleh". Disini kita bisa dapat jumpai banyak para aktivis dan kaum intelektual yang senantiasa ngumpul untuk setidaknya diskusi dan shering dan memikirkan nasip bangsa ini yang semakin hari semakin memburuk. tidak sedikit dari mereka yang juga mempunyai jabatan dan peran penting di kampus maupun di organisasi Ektra kampus, sebut saja Elman Duro mahasiswa asal STAIN pamekasan yang merupakan Mantan Presiden Kampus STAIN yang pada saat ini menjabat sebagai ketua I PC PMII Pamekasan itu yang tiap harinya bisa kita jumpai di kopi pak saleh ini, menurut nya kopi pak saleh ini mempunyai ciri khas dari pada tempat Ngopi yang lain. "Kopi disini Lebih Puket dan mantap" Ujar ELMAN mahasiswa yang tidak pernah absen dan selalu setia berada di tempat kopi tersebut.<-dit>


Mahasiswa: Agent Of Change?

Sering kali kita mendengar bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, tetapi banyak mahasiswa yang tidak menyadari hal itu, hal itulah yang menjadikan kita perlu untuk sejenak merenung dan bertanya, masihkah mahasiswa (kini) pantas menyandang gelar itu? Memang, tidak sedikit tinta yang ditorehkan Mahasiswa (Indonesia) pada sejarah negeri ini. Mulai dari kebangkitan Nasional, kemerdekaan, hingga reformasi, setiap peristiwa itu selalu menempatkan mahasiswa pada peranan yang vital. hanya demi kepentingan bersama dan kebaikan kondisi bangsa dan negara, para mahasiswa berjuang dan terbukti mampu merubah keadaan negeri ini. Meski romantisme sejarah tersebut masih menjadi kebanggaan dan memang patut kita banggakan, Tetapi itu tetap saja masa lalu yang tak akan mempengaruhi dan berarti bagi kita jika semangat dan cita-cita yang mereka perjuangkan tidak kita “warisi dan kita lanjutkan serta tidak kita gunakan dengan semesetinya”. Perjuangan dan keberhasilan mahasiswa dulu mereformasi negeri ini, hanya akan menjadi cerita favorit mahasiswa kini yang selalu membanggakan seneor-seneor mereka yang tidak lain hanya untuk mempromosikan organisasinya kepada mahasiswa baru. Sehingga, Label “agen perubahan” yang masih diyakini tersemat pada tiap diri kita hanyalah akan menjadi gelar yang tidak tepat untuk kita banggakan.
**
Jika kita mau membandingkan, terdapat perbedaan karakter antara mahasiswa dulu dan sekarang. Diera dimana sistem telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini, dan mampu menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiatan-kegiatan ilmiah, tanggug jawab dan kepekaan terhadap kondisi sosial yang menjadi budaya mahasiswa dulu, seperti diskusi, kajian, seminar, mengontrol pemerintah, kepekaan dan empati sosial atau yang lainnya sudak tidak lagi diminati, bahkan dijauhi oleh mahasiswa. Beda halnya dengan kegiatan bersenang-senang yang setiap saat dibanjiri mahasiswa.
Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi- organisasi atau kelompok mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan mereka sangat minim dengan keilmuan, perjuangan, dan tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah keadaan, atau setidaknya menyadarkan identitasnya sebagai mahasiswa, sehingga yang terjadi justru mahasiswalah yang diatur oleh keadaan dan mereka telah melupakan jati dirinya. Padahal masa depan negara ini menjadi pertaruhannya. Dalam sebuah tulisan Busjro Muqoddas mengatakan ” jika akan merusak bangsa dan negara, rusakkah mahasiswa!. Bawa mereka ke alam pikir serba instan dengan ciri-ciri :cepat lulus,cepet kerja, gaji besar, rumah mobil mewah, hoby diskotik, pub, cafĂ©, gaya hidup metropolitan. Pendeknya: Penghamba materealisme. Jauhkan mahasiswa dari kecendrungan memiliki kepekaan dan empati sosial, tak tersentuh dengan jungkir balik orang tua pencari rizki demi masa depan anak, tak peka terhadap empat puluh juta si miskin yang terzalimi oleh sistem sosial yang korup, tak peduli terhadap mental dan laku bohong pejabat dan penguasa, bahkan tak peka mengenali dirinya sendiri”. Jika itu yang tejadi, maka percayalah dalam waktu dekat negara ini akan dihuni dan dipimpin oleh banyak manusia yang tak beradab dan tak berpihak pada kebenaran.
Sekarang terserah kemauan kita, mau menjadi mahasiswa penghamba materialisme seperti yang dikata Busjro diatas? Atau menjadi mahasiswa sejati, yakni mahasiswa yang memiliki tujuan yang jelas?, yakni mahasiswa yang berniat luhur merebut ilmu dan kekuasaan dari penguasa zalim, peduli terhadap kondisi bangsa , yang mengetahui bahwa ilmu selalu berpihak kepada kebenaran dan mereka yang mengetauhui tanggung jawabnya sebagai mahasiswa yakni sebagai “agen perubahan” kepada kondisi yang lebih baik, bukan agen penghancur jati diri bangs dan negara. Pilihan kita menentukan masa depan bangsa dan negara ini

Sumber: edukasi.kompasiana.com

Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang dan tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyrakatan yang semestinya diambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran idela seperti itu, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.

PERAN STRATEGIS MAHASISWA
Dalam proses perubahan sosial dan kebudayaan mahasiswa memiliki posisi dan peranan yang essensial. Ia sebagai transformator nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Dan merintis perubahan dalam rangka dinamisasi kehidupan dalam peradaban yang sedang berjalan.
Kalau kita percaya kalao masa kini adalah proses masa lalu yang mendapat pengaruh dari cita-cita masa depan, maka kedudukan dan peranan mahasiswa sebagai transformator nilai dan inovator dari perkembangan yang berorientasi ke masa depan lebih jelas, bahwa mahasiswa harus menjadi semangat yang hidup dalam nilai-nilai ideal, dan membangun subkultur serta berani memperjuangkan.
Sebagai bagian dari intelektual community mahasiswa menduduki posisi yang strategis dalam keterlibatannya melakukan rekayasa sosial menuju independensi masyarakat, dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam posisinya sebagai komunitas terdidik, mahasiswa sebagai salah satu kunci penentu dalam transformasi menuju keadilan dan kemakmuran bangsa. Di samping dua kelompok strategis lainnya yaitu kaum agamawan dan masyarakat sipil (Madani) yang mempunyai kesadaran kritis atas situasi sosial yang sedang berlangsung sast ini.
Posisi mahasiswa secara sederhana bisa kita gambarkan sebagai sosok yang barada di tengah-tengah level. Di masyarakat menjadi bagian masyarakat, di kalangan intelektual mahasiswa juga dianggap berada diantara mereka. Dengan kata lain keberadaan mereka berada di tengah-tengah level apapun mempunyai nilai strategis. Nilai strategis lain mahasiswa menurut Arbi Sanit adalah mahasiswa sebagai komunitas strategis dalam proses perubahan, lihat skema

Tahapan melakukan perubahan:

EMPAT KEKUATAN
Sebagai langkah taktis dan preferensi pengembangan ke depan, mahasiswa harus memiliki 4 kekuatan :
1. kekuatan moral
2. kekuatan kontrol sosial
3. kekuatan intelektual
4. kekuatan profesional
oleh karena itu mahasiswa harus berani mengambil peran-peran strategis tersebut di atas. Sebagai kekuatan moral dan kontrol sosial, mahasiswa harus mampu benrsentuhan aksi-aksi pembelaan kaum tertindas. Pada tataran mikro secara aktif menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap kebijakan refresif di tingkat kampus. Pada tingkat makro, mampu melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpinggirkan seperti nelayan, buruh, petani, anak jalanan, dan PSK.
Sebagai kekuatan intelektual mahasiswa harus mampu melakukan pengembangan dan pembangunan komunitas intelektual (inteletual community) dengan melakukan kajian-kajian strategis dan membentuk kelompok-kelompok studi sebagai basis pembentukan reading and intelektual society dan penciptaan kultur akademis dengan menciptakan hubungan yang lebih egaliter antara dosen dan mahasiswa

Sumber: http://members.lycos.co.uk/pmiiundiptblg//?pilih=lihat&id=10

Rabu, 20 Februari 2013

PMII Pamekasan Desak Polisi Tangkap Pelaku Pengeboman

Pamekasan - Pergarakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Pamekasan, Madura, mendesak agar petugas kepolisian segera menangkap pelaku pengeboman rumah kadernya, Rifki yang dilakukan orang tak dikenal beberapa waktu lalu.

Ketua Umum PMII Cabang Pamekasan Sidik dalam rilis yang diterima Antara, Kamis, menyatakan bahwa kader PMII yang rumahnya dibom orang tak dikenal itu bernama Rifki, dan ia merupakan Ketua Umum PMII Komisariat UIM Pamekasan asal Dusun Topoar, Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Sumenep.

"Hingga saat ini kasus tersebut belum mendapat perhatian polisi, terutama Polres Sumenep. Padahal aksi pengeboman rumah kader kami itu telah terjadi 14 Februari lalu," kata Sidik.

Secara kelembagaan maupun atas nama pribadi, pihaknya meminta agar polisi segera mengusut tuntas pelaku pengeboman rumah kadernya itu.

Aksi pengeboman rumah kader PMII cabang Pamekasan itu terjadi pada tanggal 14 Februari 2013 sekitar pukul 16.42 WIB. Belum diketahui modus pengeboman yang dilakukan oleh orang tak dikenal itu, namun Ketua Umum PMII cabang Pamekasan Sidik menduga pelakunya kemungkinan teroris.

Ia mengemukakan, selama ini kadernya Rifki, memang dikenal sangat keras memprotes praktik-praktik ke-Islam-an beraliran keras dalam berbagai pertemuan, baik saat mengikuti seminar ataupun dialog-dialog keagamaan.

Tidak hanya itu saja, Rifki juga sering menyampaikan wacana kontroversi terkait pemahaman ke-Islam-an yang berbeda dengan pemahaman umum masyarakat dan tokoh masyarakat Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep.

"Namun wacana itu kan wajar, karena pandangan dan kajian atas pemahaman keagamaan yang disampaikan itu secara ilmiah," kata Sidik.

Sementara, akibat aksi pengeboman itu, rumah Sidik berikut dapurnya hancur, karena bom yang dilempar ke rumah aktivis mahasiswa itu berdaya ledak tinggi hingga terdengar dalam radius sekitar 1 kilometer.

"Kami curiga pelaku pengeboman adalah teroris, karena daya ledaknya tinggi dan kita ketahui bersama, hanya teroris yang bisa merakit bom," tukas Sidik. (*)

Konsolidasi cabang Pamekasan pada acara Sekolah kader wilayah PKC PMII Jawa Timur

Senin, 18 Feb 2013 (media sahabat) siang tadi tepatnya jam 11.00 WIB para Pengurus harian PC PMII Pamekasan telah bersiap-siap berangkat dengan tujuan Kota malang. Pada kesempatan kali ini kami sengaja jauh-jauh datang ke kota dingin Malang dengan maksud silaturrahmi kepada pengurus PKC PMII Jawa Timur dan konsolidasi program kerja yang telah terumuskan di Cabang kami. sekitar jam 18.00 WIB kami sampai dilokasi tepatnya Pondok pesantren Al-Hikam kota malang yang juga kebetulan pada hari ini bertepatan pada hari terakhir acara Sekolah Kader Wilayah (SKW) PKC PMII Jawa Timur  yang sudah berjalan 3 hari yang lalu (15 Feb). Sampai dilokasi sambutan hangat dan meriah ala PMII sangat terasa dihati kami sehingga menghilangkan rasa lelah akibat perjalanan seharian yang  menghabiskan waktu sekitar 5 jam perjalanan ujar pemuda tampan (didik) yang menjadi panggilan akrabnya oleh  para sahabat-sahabat disana yang kebetulan orang nomor satu di PMII Pamekasan itu.(dit_red)

PKC PMII Jatim Gelar Sekolah Kader Wilayah

Malang, 16/2 (Media Sahabat) - Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Timur, menggelar kegiatan Sekolah Kader Wilayah (SKW), yang dilaksanakan di Pesantren Al-Hikam, Malang.
Kegiatan SKW PKC PMII Jatim, yang dibuka oleh Ketua Umum PKC PMII Jatim Ach. Fairuz dan bertujuan untuk menyiapkan peserta dan kader yang senantiasa mampu mempertanggung jawabkan segala bentuk komitmen dan tugasnya pada kader-kader PMII di masing-masing cabang di wilayah Jawa Timur. 
"Kami memang sengaja menekankan nilai keagamaan pada peserta. Dimulai dengan diwajibkannya shalat berjemaah dan harus mengisi kultum (kuliah tujuh menit) setelah selesai berjamaah," kata Fairuz, Sabtu.
Fairuz menambahkan, SKW ini pertama kali dilakukaan oleh PKC Jatim. PKC mempunyai harapan terhadap perubahan pola kaderisasi yang ada di PMII. Yang selama ini hanya sebatas pada pola pengkaderan formalitas akan difokuskan pada sistem out-put dan out-cam.
"Merupakan harapan dari dari PKC PMII Jatim. Bahwa kader untuk saat ini dan selanjutnya sudah bisa memberikan out-put dan out-cam yang jelas. Bukan lagi sebagai sarana formalitas saja," ungkap Mantan PC PMII Malang ini.
Harapan dari Ketua PKC juga menekankan sistem kaderisasi yang ada di PMII tidak penuh dengan pengetahuan semu. Dan diharapkan 5 tahun kedepan hasil sekolah kader wilayah berlaku dan betul di implimentasikan dan format kaderisasi yang sah
 
sumber : http://www.mediamadura.com/2013/02/pkc-pmii-jatim-gelar-sekolah-kader.html

Kamis, 14 Februari 2013

PMII Pamekasan: Tangkap Pelempar Potasium

Pamekasan, 15/2 (Media Sahabat),  Insiden pelemparan bondet atau bom molotov oleh sejumlah orang tak dikenal di rumah Rifki, Kamis (14/2) dini hari kemarin, tampaknya bakal berbuntut panjang. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi mahasiswa, terbesar ikut berang. Bahkan mendesak kepolisian segera mengusut pelakunya.

Rifki, pemilik rumah itu adalah Ketua Pengurus Komisariat PMII Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan. Beberapa hari sebelum kejadian, Rifki pulang kampung, tepatnya di Dusun Topoar, Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep itu.

Akibat insiden itu, atap bagian belakang rumah beserta genting, hancur. Hingga saat ini belum diketahui pasti motif pelemparan bondet tersebut. Pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan.

Kendati demikian, hal itu terjadi diduga kuat akibat upaya Rifki untuk mengungkap serta melaporkan indikasi penyelewengan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di wilayah tersebut kepada pihak berwajib, tetapi sebelum temuan-temuan tersebut dilaporkan rumah Rifki dilempar bom molotov tersebut.

Dugaan itu disampaikan Ketua Umum PC PMII Pamekasan Didik Ahmad. Menurut Didik, Rifki pulang kampung beberapa hari sebelum kejadian bertujuan untuk mengungkap indikasi penyimpangan tersebut.

Didik mengatakan, pihaknya mendesak pihak kepolisian Sumenep untuk segera mengusut pelaku serta otak di balik kasus itu.

"Saya atas nama PC PMII Pamekasan mengecam dan meminta kepada pihak kepolisian untuk menangkap pelaku serta otak di balik pelemparan potasium ke rumah sahabat kami Rifki, ketua PMII Komisariat UIM," kata Didik kepada JaringNews.com, Jumat (15/2) sore.

Kasus itu, lanjut Didik, tidak boleh dibiarkan. Sebab, jika dibiarkan bukan tidak mungkin di lain waktu kekerasan lainnya akan mudah kembali terjadi. Menurut dia, insiden itu adalah bentuk premanisme yang tidak dibenarkan dalam hukum apapun.

"Sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai induk organisasi yang menaungi Komisariat PMII UIM, maka kami akan berkoordinasi dengan ketua umum PC PMII Sumenep untuk terus mengawal peristiwa pelemparan tersebut," tegas pria tampan ini dengan nada lantang.

Bahkan, kata Didik, jika pihak kepolisian tidak segera menangkap pelaku dan otak di balik peristiwa itu, PC PMII Pamekasan juga akan melaporkan kepada Pengurus Kordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Timur dan Pengurus Besar (PB) PMII.

Selain itu, Didik menegaskan, dalam waktu dekat, pihaknya bersama para aktivis PMII se Madura akan turun jalan, menggelar aksi serta seruan moral.

"Kami juga akan turun jalan mengecam dan mengutuk tindakan premanisme terhadap salah satu kader terbaik kami," pungkasnya.
sumber : Jaringnews.com

PMII Jawa Timur rembuk kaderisasi

Sidoarjo, 11/2 (Media Madura) - Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Timur, mengadakan rembug kaderisasi yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Interprenership, Sidoarjo. 8-10/2.

Acara yang dihadiri oleh utusan cabang Se-Jawa Timur itu pembahasannya difokuskan pada fungsi ketua 1 dalam struktur kepengurusan, sebagai penanggung jawab bidang pengkaderan di lingkungan PMII Jatim ini mendapat apresiasi positif dari berbagai cabang di wilayah Jawa Timur.

"Kami sebagai pengurus cabang sangat bangga dengan adanya rembug ini, kamipun memberikan apresiasi kepada pengurus PKC PMII Jatim yang telah mengagendakan acara ini." Ujar Elman Nafi', Ketua 1 PMII Cabang Pamekasan.

Mantan Presiden STAIN Pamekasan ini menambahkan, rembug ini memberikan spirit yang lebih bagi PMII Jatim, khususnya bagi PMII di masing-masing wilayah. Hal ini dikarenakan bisa terealisasinya penyatuan visi dan misi PMII di Jawa Timur yang selama ini masih sering muncul perbedaan disebabkan letak geografis yang berbeda antar cabang di wilayah Jawa Timur.

Sementara itu, PKC PMII Jatim, Khoirul Umam memaparkan, sangat bangga atas partisipasi peserta rembug, khususnya bagi semua cabang tanpa terkecuali. Yang ikut juga memberikan ide-ide terbaru demi pengembangan organisasi kedepan utamanya pola kaderisasi.

"Saya sangat bangga bisa mengumpulkan sahabat-sahabat ketua I dari semua cabang di Jawa Timur, karena dari tahun-tahun seblumnya belum bisa terealisasi," ujarnya Umam dengan bangga.

Ketua I Bidang Pengkaderan ini juga berharap semoga pertemuan ini akan senantiasa berlagsung dan berlanjut pada kepengusan selanjutnya dan tidak berhenti pada pertemuan ini.

Acara yang dilaksanakan di Perum Graha Tirta Sidoarjo ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi terkait pola kaderisasi yang akan dilaksanakn oleh PMII ke depan, Antara lain; diadakannya pemerataan kaderisasi dan tdak mengurangi ke arifan lokal, dan ketua I cabang harus melakukan sosialisai ke komisariat dan rayon yang ada. (Coel-19/Rif


sumber: www.mediamadura.com/2013/02/pkc-jatim-gelar-rembug-kaderisasi.html